Jumat, 20 Mei 2011

Faktor yang mempengaruhi suatu produk

olif

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kerja Enzim


Hubungan antara produk dengan faktor - faktor yang mempengaruhinya.
Faktor yang mempengaruhi Produk dari Suatu Enzim :

1. Suhu
Sebagian besar enzim mempunyai suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel organisme tersebut.Panas yang ditimbulkan akibat kenaikan suhu dapat mempercepat reaksi sehingga kecepatan molekul meningkat. Pada suhu kurang dari suhu optimum, aktivitas enzim mengalami penurunan. Akibat kenaikan suhu dalam batas tidak wajar maka terjadi perubahan struktur enzim (denaturasi) dan bagian enzim akan terganggu sehingga konsentrasi dan kecepatan dapat berkurang.
2. pH atau Keasaman
Seluruh enzim peka terhadap perubahan derajat keasaman (pH). Enzim menjadi nonaktif bila diperlakukan pada asam basa yang sangat kuat. Kenaikan atau penurunan pH menyebabkan penurunan aktivitas enzim dengan cepat karena enzim menjadi non aktif secara irreversibel karena menjadi denaturasi protein. Umumnya enzim efektifitas maksimum pada pH optimum, yang lazimnya berkisar antara pH 4,5-8.0.
3. Substrat
Konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan tetapi, pada batas tertentu tidak terjadi kecepatan reaksi, walaupn konsenrasi substrat diperbesar.zat-zat penghambat.
4. Enzim
Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi tertentu, pada konsentrasi tertentu, kecepatan reaksi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim.
5. Inhibitor
Enzim dapat dihambat sementara atau tetap oleh inhibitor berupa zat kimia tertentu. Zat kimia tersebut merupakan senyawa selain substrat yang biasa terikat pada sisi aktif enzim (substrat normal) sehingga antara substrat dan inhibitor terjadi persaingan untuk mendapatkan sisi aktif . Persaingan tersebut terjadi karena inhibitor biasanya mempunyai kemiripan kimiawi dengan substrat normal. Pada konsentrasi Substrat yang rendah akan terlihat dampak inhibitor terhadap laju reaksi, kondisi tersebut berbalik bila konsentrasi substrat naik.

Dari Diagram Batang di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Hubungan antara jumlah enzim dan subtrat terhadap produk. Semakin banyak jumlah enzim dan substrat akan mempengaruhi jumlah hasil produk yang dihasilkan. Contoh : gambar 3.
2. Hubungan antara pH dengan produk : Apabila melebihi 7 atau kurang dari 7 maka enzim akan mengalami denatursi. Karena pH optimum pada keadaan netral adalah 7 sehingga tidak ada product yang didapatkan dalam waktu 30 detik. Contoh : gambar 6.
3. Hubungan antara pH,jumlah enzim dengan subtrat . Jika pH enzim dalam keadaan konstan serta suhu dan jumlah substrat berlebihan, maka produk yang dihasilkan akan maksimum. Contoh : gambar 7.
4. Hubungan antara produk dengan suhu. Semakin tinggi (Suhu lebih dari 400 C) maka tidak akan menghasilkan suatu produk. Contoh : pada gambar 9.

Eusthanasia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Cloning merupakan proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat kompleks. Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian.
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.
Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
Faktor – faktor terjadinya eutanasia : (M.L. Tina Stevens dalam Bioetik Amerika, 2006)
1. Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit, tapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia bukalah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari doketr lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu, bukan yang akan membunuh sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2. Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya, tapi sebaliknya, ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri, hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Ini bisa mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.
Menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas Saint Louis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, hampir 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis, dan 60% setuju dengan pernyataan bahwa seseorang dapat mati meskipun jantungnya masih berdetak. Dari survey tersebut, 70% dari antaranya berasal dari golongan beragama. Di Indonesia sendiri kasus eutanasia hanya 5% Dikarena keluarga menolak adanya eutanasia.
Kesehatan Kerja Pasal 23
1. Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal.
2. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
3. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
4. Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan Ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1.2 TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tujuan dan mengapa Eustanasia itu dilakukan ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN
Secara bahasa, istilah eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti kematian, sehingga istilah eutanasia secara singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik tanpa penderitaan’. (Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp.OG(K), 2006)
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, eutanasia berarti tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yg sakit berat atau luka parah dengan kematian yg tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Sedangkan Wikipedia menyebutkan bahwa eutanasia berarti praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif: (Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp.OG(K), 2006)
1. Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup sang pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien. Baik dengan alasan maupun tanpa alasan tertentu.
2. Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeutanasia (eutanasia otomatis) termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sang pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif yang dilakukan atas permintaan sang pasien itu sendiri.
3. Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit (Wikipedia, 2010).
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur -unsur sebagai berikut:
1. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.


Kewajiban Dokter Terhadap Pasien Dalam Kode Etika Kedokteran : (Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp.OG(K), 2006)
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien.dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,maka atas persetujuan pasien,ia wajib merujuk pasien,ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit terebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
2.2 JENIS EUSTANASIA
Didasarkan pada beberapa hal, eutanasia memiliki beragam jenis, ditinjau dari status pemberian ijin, eutanasia dibagi menjadi 3, yaitu: (Prof. Dr. M. Jusuf Hanafiah, Sp.OG(K), 2006)
1. Eutanasia di luar kemauan pasien : yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana.
2. Eutanasia secara tidak sukarela : Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakan kondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar.
3. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum.
Tujuan dari eustanasia dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010) antara lain yaitu :
1. Eustanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing): Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam penyakitnya, sehingga membuat orang-orang disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia.
2. Eutanasia hewan : Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusus dilakukan kepada hewan, biasanya beberapa hewan peliharaan yang sudah tua dan menderita sakit berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasusyang lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan ke dalam kubur, termasuk hewan-hewan kesayangannya, sehingga sebelum hewan tersebut dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu.
3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri.
2.3 SEJARAH EUSTANASIA
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.(Wikipedia,2010)
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat.
2.4 EUTANASIA MENURUT AJARAN AGAMA
1. Eustanasia menurut ajaran Katolik dan Protestan
Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut
2. Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
3. Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut
4. Dalam ajaran agama Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Eutanasia Positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia Negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
5. Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
2.5 BEBERAPA ASPEK TENTANG EUSTHANASIA
1. Aspek Hukum.
Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP.
2. Aspek Hak Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
2.6 PROSEDUR STANDAR EUSTANASIA
Sebagai salah satu metode medis, maka eutanasiapun juga memiliki standar prosedur tertentu. Berdasarkan Franson metode dasar eutanasia terbagi menjadi fisik dan kimia.
Prosedur standar eutanasia fisik
Eutanasia secara fisik, dilakukan dengan melakukan tindakan-tindakan fisik secara langsung kepada objek yang akan di-eutanasia. Eutanasia secara fisik ini lazim diterapkan kepada hewan, untuk penerapannya terhadap manusia masih belum pernah dilaporkan. Terdapat beberapa jenis teknik eutanasia secara fisik, yaitu:
• Decapitation (perusakan otak lewat leher). Decapitation dilakukan dengan jalan memotong kepala hewan dengan menggunakan peralatan tajam dengan tujuan untuk memutus kepekaan saraf tulang belakang. Hewan yang diperbolehkan untuk di-decapitation sama dengan pada cervical dislocation.
• Stunning & exsanguinations (removal blood) dilakukan dengan jalan merusak bagian tengah tengkorak agar hewan menjadi tidak sadar diikuti penyembelihan untuk mengeluarkan darah dengan memotong pembuluh darah utama di bagian leher. Teknik ini sangat cocok untuk diterapkan pada hewan potong serta hanya bias dioperasikan apabila tes diagnostik pada otak tidak diperlukan.
• Captive bolt atau gunshot, merupakan metode yang umum dipergunakan di rumah potong hewan utamanya kuda, ruminansia dan babi. Hewan dimatikan dengan jalan menembak langsung kepalanya apabila otaknya diperlukan untuk tes diagnostik maka penembakan dilakukan di leher. Pelaksanaannya memerlukan seorang ahli agar tercapai kematian yang ,manusiawi selain untuk keamanan. Cervical dislocation (pemutaran leher) merupakan metode eutanasia untuk burung atau hewan dengan bobot <125 gr, kelinci dan rodensia dengan BB 125 gr – 1 kg. Hewan yang akan dimatikan harus dalam keadaan telah dianaestesi dan tidak boleh dilakukan pada hewan dalam keadaan sadar. Metode ini tidak diperbolehkan untuk meng-eutanasia kelinci atau rodensia dengan BB > 1 kg, anjing, kucing, ternak potong. Teknik ini sangat efektif, cepat, murah dan efek terhadap tes diagnostic sangat rendah.
• Cervival (pemutaran leher) merupakan metode eutanasia untuk burung atau hewan dengan bobot <125 gr, kelinci dan rodensia dengan BB 125 gr – 1 kg. Hewan yang akan dimatikan harus dalam keadaan telah dianaestesi dan tidak boleh dilakukan pada hewan dalam keadaan sadar. Metode ini tidak diperbolehkan untuk meng-eutanasia kelinci atau rodensia dengan BB > 1 kg, anjing, kucing, ternak potong. Teknik ini sangat efektif, cepat, murah dan efek terhadap tes diagnostic sangat rendah.
Prosedur standar eutanasia kimia
Eutanasia Kimia yaitu memasukkan agen toksin ke dalam tubuh dengan suntikan atau inhalasi
Prosedur inhalasi hanya boleh dilakukan oleh operator yang telah mendapat ijin untuk menggunakan bahan kimia karena material yang akan digunakan sangat berbahaya bagi manusia.
Inhalasi untuk mematikan hewan dengan bobot < 7kg. Agen inhalasi yang dipilih harus menjadikan hewan tidak sadar secara cepat. Adapun agen yang diperbolehkan adalah halothane, enflurane, methoxyflurane, nitrous oxide karena nonflammable dan nonexplosive.carbondioxide, derivat barbiturat, magnesium sulfat, KCl. Sedangkan agen inhalassi yang tidak boleh ddipergunakan adalah Chloroform, gas hydrogen sianida, CO, Chloral hidrat, striknin. Meskipun demikian pada kenyataannya CO, chloroform maupun ether masih tetap dipergunakan terutama apabila jumlah hewan yang akan dieuthasia banyak. Umum dilakukan untuk eutanasia burung mencit atau tikus dalam jumlah banyak dengan jalan meletakkan hewan pada kotak yang tertutup plastic yang dialiri gas CO2 secara bertahap. Agen inhalasi juga bisa dicelupkan dan diletakkan di dalam kotak sampai hewan tidak sadar dan mati apabila fasilitas di bawah ini tidak tersedia.
Inhalasi dosis lethal umum diberikan pada hewan peliharaan yang sudah tua yang menderita sakit. Prosedur ini apabila titerapkan pada hewan percobaan kemungkinan besar akanmempengaruhi hasil akhir penelitian serta karkasnya tidak bias dikonsumsi.
Sedangkan eutanasia kimia dengan teknik suntik, lebih banyak diterapkan kepada manusia, karena dianggap lebih aman dan lebih manusiawi. Teknik ini dilakukan dengan cara menyuntikkan zat kimia tertentu ke dalam tubuh pasien, sehingga pasien tersebut meninggal. Pada beberapa kasus, eutanasia tidak dilakukan secara langsung, untuk mengurangi efek psikologis bagi sang eksekutor. Sebagai gantinya, eutanasia dilakukan dengan mesin eutanasia. Mesin eutanasia ini digunakan untuk menyuntikkan obat-obatan mematikan dalam dosis tinggi, mesin ini dilengkapi layar komputer jinjing untuk memandu pengguna melalui beberapa tahapan dan pertanyaan guna memastikan bahwa si pengguna telah benar-benar siap atas keputusannya tersebut. Suntikan terakhir kemudian dilakukan dengan bantuan mesin yang diatur dari computer.

BAB III
KASUS
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarat Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya. Sebelumnya Hasan Kesuma menyampaikan permohonannya di hadapan pimpinan sementara DPRD Bogor Jumat 17 September 2004 untuk diizinkan melakukan euthanasia atas istrinya, yang telah 56 hari tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak melalui operasi caesar yang dipimpin oleh dokter Gunawan Muhammad, SpOg di Rumah Sakit Islam (RSI) Bogor. Setelah operasi caesar Ny Again dirawat di Rumah Bersalin (RB) Yuliana dan memeriksakan perkembangannya kepada dokter Gunawan.
Pada 21 Juli sekitar pukul 08.00 Ny Again mendadak gelisah dan tekanan darahnya naik, lalu dibawa ke RSI. Di RSI Ny Agian langsung ditangani dokter Gunawan, tetapi Ny Agian mendadak tak sadarkan diri. Karena keterbatasan peralatan, Ny Agian dirujuk ke RS PMI Bogor. Sekitar pukul 18.30 Ny Agian dirawat di RS PMI.Setelah lebih dari dua minggu dirawat di RS PMI, Ny Agian yang tak sadarkan diri itu atas anjuran dokter spesialis syaraf di RS PMI, dokter Yoeswar, lalu dilakukan CT Scan di RS Pusat Pertamina Jakarta pada Rabu 11 Agustus 2004 untuk mendapatkan hasil akhir kondisi kerusakan syaraf otak yang lebih akurat.Sehari kemudian diperoleh hasil CT Scan yang menyatakan ada kerusakan permanen di pusat syaraf otak yang mengakibatkan Ny Agian tidak dapat kembali normal seperti semula karena organ-organ tubuhnya sudah mengalami putus hubungan (disconnecting) syaraf otak.
Sejak itu Ny Agian terbaring tidak sadarkan diri di RS PMI lalu LBH Kesehatan turun tangan karena adanya dugaan malapraktik. Selanjutnya pada 27 Agustus 2004, oleh Direktur LBH Kesehatan Iskandar Sitorus, Ny Agian dipindahkan ke RSCM Jakarta.Kasus dugaan malapraktik itu selanjutnya dilaporkan ke Polsek Tanah Sareal, Kota Bogor dan terakhir dilaporkan ke Polda Jabar oleh Hasan pada 31 Agustus 2004.
KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
1. Identifikasi nilai dilema etik : azaz yg di gunakan adalah azaz benificienci karena hanya mengerjakan sesuatu yang baik yakni menyetujui keinginan keluarga pasien karena tidak tega melihat istrinya yang koma terus menerus dan guna mengatasi masalah finansial keluarga.
2. Pengumpulan data : keluarga klien menduga telah terjadi malpraktek sehingga menyebabkan istrinya mengalami kerusakan permanen di pusat syaraf otak yang menyebabkan klien tidak sadarkan diri yang sulit untuk kembali ke normal
3. Mengidentifikasi konflik :
1. Keluarga klien menduga telah terjadi malpraktek yang menyebakan klien tidak sadarkan diri
2. Tindakan eutanasia karena kelurga klien tidak tega melihat klien yang terus menurus tidak sadarkan diri dan masalah financial keluarga
4. Membuat tindakan alternatif :
Pilihan 1 : merujuk klien ke rumah sakit yang lebih besar dalam artian rumah sakit yang memiliki fasilitas medis yang lebih canggih
- Keuntungan : mendapatkan perawatan yang lebih baik dari sebelumnya
- Kerugian : membutuhkan biaya yang lebih besar
Pilihan 2 : mengajukan surat keterengan tidak mampu kepada pemerintah untuk mengatasi masalah financial keluarga
- Keuntungan : mendapatkan perawatan dengan biaya yang tidak terlalu besar
- Kerugian : keluarga kesulitan untuk mengurus surat keterangan tidak mampu
Pilihan 3 : memberikan HE kepada keluarga klien jika klien tidak segera mendapat pertolongan segera maka akan terus menerus koma
- Keuntungan : keluarga dan klien mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang bagaimana perkembangan kondisi pasien
- Kerugian : waktu yang dibutuhkan untuk memberikan HE terlalu lama
5. Siapa yang terlibat dan siapa pengambil keputusan :
Yang terlibat: dokter, keluarga, klien
Yang mengambil keputusan : keluarga klien
6. Menentukan kewajiban perawat :
- Memberiken asuhan keperawatan kepada klien sesuai kondisi klien dan standar oprasional keperawatan (SOP)
- Menghormati hak-hak klien
- Memberikan HE kepada keluarga dan klien tentang resiko dari tindakan eutanasia
7. Membuat keputusan :merujuk klien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas medis lebih lengkap dan canggih dengan harapan klien bisa sadar meskipun kemungkinan kembali ke normal sangatlah sulit.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk mendapatkan ilmu. Ilmu yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial. Karenanya kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri tidak termasuk dalam kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan sangat jelas terasa pada ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan dengan kebutuhan manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat dengan kebutuhan “primer” manusia.
Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam kehidupan keseharian. Sebagai contoh teknologi transgenik, cloning merupakan isu yang banyak menyita perhatian umat manusia karena menyangkut secara langsung kehidupannya.
Ketika ditemukan teknologi operasi plastik untuk merubah bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi sejenisnya, perdebatan diantara pihak yang pro maupun kontra nampak nyata terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan pada ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu yang menyangkut langsung kepada keputusan tentang hidup matinya manusia yaitu Euthanasia dapat dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut dimensi etis, tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran.
Perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat berupa manfaat dan atau bencana. Demikian pula euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana .
Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.
2. Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.
3. Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.
4. Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.
5. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya.
B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan. Sehingga penulis mengharapkan sebuah kritik yang bersifat membangun dan saran atau ide dari pembaca akan kami gunakan sebagai acuan untuk perbaikan dan pengembangan makalah ini menjadi lebih baik.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Karyadi, Petrus Yoyo. 2007. Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manuisa. Jakarta: Media Prssindo.
Wellcome Trust. 2006. Disability & Bioethics Resource Pack. Euthanasia. V1.0
Nugroho,F. 2008. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam. Solo